
Telaga
Pasir atau yang lebih dikenal Telaga Sarangan adalah salah satu obyek
wisata air di Kabupaten Magetan, Jawa Timur. Telaga seluas 30 hektar
dengan kedalaman 30 meter ini tepatnya berada di kaki Gunung Lawu, Kelurahan Sarangan,
Kecamatan Plaosan atau sekitar 18 kilometer arah barat Kota Magetan.
Menurut cerita, awalnya telaga ini berupa ladang milik seorang petani
bernama Kyai Pasir. Suatu ketika, terjadi sebuah peristiwa yang menimpa
Kyai Pasir dan istrinya yang mengakibatkan ladang mereka berubah menjadi
telaga. Peristiwa apakah itu? Temukan jawabannya dalam cerita Legenda Telaga Pasir berikut ini!
* * *
Di
suatu tempat di kaki Gunung Lawu, Magetan, hiduplah sepasang suami
istri bernama Kyai Pasir dan Nyai Pasir. Mereka tinggal di sebuah gubuk
di tepi hutan. Meskipun hanya terbuat dari kayu dan beratapkan dedaunan,
gubuk mungil itu sudah cukup aman bagi Kyai Pasir dan istri tercintanya
dari gangguan binatang liar. Dinding gubuk itu terdiri dari susunan
kulit kayu yang diikatkan pada tiang kayu dengan menggunakan rotan. Di
antara dinding-dinding kayu itu diberi sedikit celah sebagai ventilasi
sehingga udara segar dapat keluar dan masuk ke dalam gubuk.
Pekerjaan
sehari-hari Kyai Pasir adalah petani ladang. Dari hasil ladang itulah
ia dan istrinya dapat bertahan hidup, walaupun hanya pas-pasan. Ladang
milik Kyai Pasir terletak di tepi hutan, tidak jauh dari
tempat tinggalnya. Suatu hari, lelaki tua yang sudah mulai renta itu
berangkat ke ladang dengan membawa kapak. Ia bermaksud membabat hutan
untuk membuat ladang baru di dekat ladang miliknya. Ketika hendak
menebang salah satu pohon besar, tiba-tiba Kyai Pasir melihat sebutir
telur besar berwarna putih tergeletak di bawah pohon itu.
“Hai, telur binatang apa itu?” gumamnya dengan heran.
Kyai Pasir amat penasaran terhadap telur besar itu. Ia pun mengambil telur itu seraya mengamatinya dengan seksama.

“Ah,
tidak mungkin ini telur ayam. Mana ada ayam berkeliaran di tempat ini?”
Kyai Pasir kembali bergumam, “Lagi pula, telur ini lebih besar dari
telur ayam.”
Kyai
Pasir tidak mau pusing memikirkan itu telur binatang apa. Baginya,
telur itu adalah lauk yang enak jika dimasak. Oleh karena itu, ia hendak
membawa pulang telur itu untuk lauk makan siang bersama istrinya di
rumah. Ketika hari menjelang siang, ia pun membawa pulang sambil telur
itu dan menyerahkannya kepada istrinya.
“Bu, tolong masak telur itu untuk makan siang kita!” ujar Kyai Pasir.
“Wah,
besar sekali telur ini. Baru kali ini aku melihat telur sebesar ini,”
ujar Nyai Pasir dengan heran saat menerima telur itu, “Dari mana telur
ini, Pak?”
Kyai
Pasir pun menceritakan bagaimana ia menemukan telur itu. Setelah itu,
ia kembali meminta istrinya agar segera memasak telur itu karena sudah
kelaparan. Ia juga sudah tidak sabar ingin segera menyantap telur itu.
Namun, sang istri masih saja terus bertanya kepadanya mengenai telur
itu.
“Ini telur binatang apa, Pak?” tanya Nyai Pasir.
“Sudahlah,
Bu. Tidak usah banyak tanya!” ujar Kyai Pasir mulai kesal. “Cepatlah
kamu masak telur itu, perutku sudah keroncongan!”
Nyai
Pasir pun cepat-cepat membawa telur itu ke dapur untuk dimasak. Sambil
menunggu telur matang, Kyai Pasir merebahkan tubuh sejenak karena
kecapaian. Tak berapa lama kemudian, istrinya pun selesai memasak.
“Pak, hidangan makan siang sudah siap. Mari, makan dulu!” ajak Nyai Pasir.
Kyai
Pasir pun beranjak dari tidurnya. Ia bersama istrinya segera menyantap
telur itu dengan lahap. Telur rebus tersebut mereka bagi dua sama rata.
Usai makan siang, Kyai Pasir kembali ke hutan untuk melanjutkan
pekerjaannya. Di tengah perjalanan, ia masih merasakan nikmatnya telur
rebus tadi. Namun, ketika ia sampai di ladang, tiba-tiba sekujur
tubuhnya terasa sakit, panas, dan kaku. Matanya pun mulai
berkunang-kunang dan sekujur tubuhnya dibasahi keringat dingin. Ia pun
merintih kesakitan.
“Aduh, kenapa tiba-tiba seluruh tubuhku sakit begini,” ratap Kyai Pasir.
Semakin
lama, rasa sakit di tubuhnya semakin menjadi-jadi. Kyai Pasir pun tidak
mampu menahan rasa sakit itu sehingga rebah ke tanah dan
berguling-guling ke sana kemari. Selang beberapa saat kemudian,
tiba-tiba seluruh tubuhnya berubah menjadi seekor ular naga yang besar.
Sungutnya amat tajam dan keras. Wujudnya pun amat mengerikan. Kyai Pasir
yang telah menjelma menjadi seekor naga jantan itu terus
berguling-guling tanpa henti.
Pada
saat yang bersamaan, Nyai Pasir yang berada di rumah juga mengalami
nasib yang sama. Rupanya, telur yang telah mereka tadi adalah telur
naga. Nyai Pasir yang merasa sekujur tubuhnya terasa sakit segera
berlari ke ladang untuk meminta tolong kepada Kyai Pasir. Alangkah
terkejutnya ia saat tiba di ladang. Ia mendapati suaminya telah berubah
menjadi naga yang menakutkan. Ia pun hendak melarikan karena ketakutan.
Namun karena tidak sanggup lagi menahan rasa sakit di sekujur tubuhnya,
istri Kyai Pasir itu pun rebah dan berguling-guling di tanah. Tak lama
kemudian, seluruh tubuhnya ditumbuhi sisik hingga akhirnya berubah
menjadi seekor naga betina.
Kedua
naga itu berguling-guling sehingga tanah di sekitarnya berserakan dan
membentuk cekungan seperti habis digali. Lama-kelamaan, cekungan tanah
itu semakin luas dan dalam. Setelah itu, muncullah semburan air yang
amat deras dari dasar cekungan tanah itu. Semakin lama semburan air itu
semakin deras sehingga cekungan itu dipenuhi air dan berubah menjadi
telaga.
Oleh
masyarakat setempat, telaga itu dinamakan Telaga Pasir yaitu diambil
dari nama Kyai dan Nyai Pasir. Namun, karena lokasinya berada di
Kelurahan Sarangan sehingga telaga ini biasa juga disebut Telaga
Sarangan.
***
Demikian cerita Legenda Telaga Pasir
dari daerah Jawa Timur. Hingga saat ini, legenda ini masih digemari
oleh masyarakat Jawa Timur, khususnya masyarakat Magetan. Kini, Telaga
Pasir atau Sarangan ini menjadi salah satu obyek wisata andalan
Kabupaten Magetan.
Adapun
pesan moral yang dapat dipetik dari cerita legenda di atas adalah bahwa
hendaknya kita lebih berhati-hati dan lebih teliti sebelum mengambil
sesuatu yang belum kita ketahui asal usulnya agar tidak terjadi hal-hal
yang tidak diinginkan. (Samsuni/sas/233/02-11)
Diceritakan kembali oleh Samsuni
0 comments:
Post a Comment