
Minakjingga adalah Adipati Blambangan yang memiliki kesaktian tinggi. Suatu ketika, ia berencana untuk memberontak pada Kerajaan Majapahit yang dipimpin oleh seorang raja perempuan yang cantik jelita bernama Ratu Ayu Kencana Wungu. Sang Ratu kemudian mengadakan sayembara untuk menangkal ancaman dari Minakjingga. Salah seorang dari peserta sayembara ini adalah seorang pemuda bernama Damarwulan. Berhasilkah Damarwulan mengalahkan Minakjingga? Simak kisahnya dalam cerita Damarwulan dan Minakjingga berikut ini!
* * *
Tersebutlah
seorang ratu bernama Dewi Suhita yang bergelar Ratu Ayu Kencana Wungu.
Ia adalah penguasa Kerajaan Majapahit yang ke-6. Pada era
pemerintahannya, Majapahit berhasil menaklukkan banyak daerah yang
kemudian dijadikan sebagai bagian dari wilayah kekuasaan kerajaan yang
berpusat di Trowulan, Jawa Timur, itu. Salah satu kerajaan kecil yang
menjadi taklukan Majapahit adalah Kerajaan Blambangan yang terletak di
Banyuwangi. Kerajaan itu dipimpin oleh seorang bangsawan dari Klungkung,
Bali, bernama Adipati Kebo Marcuet. Adipati ini terkenal sakti dan
memiliki sepasang tanduk di kepalanya seperti kerbau.
Keberadaan
Adipati Kebo Marcuet ternyata menghadirkan ancaman bagi Ratu Ayu
Kencana Wungu. Meskipun hanya seorang raja taklukan, namun sepak terjang
Adipati Kebo Marcuet yang terus-menerus merongrong wilayah kekuasaan
Majapahit membuat Ratu Ayu Kencana Wungu cemas. Ratu Majapahit itu pun
berupaya menghentikan ulah Adipati Kebo Marcuet dengan mengadakan sebuah
sayembara.
“Barangsiapa
yang mampu mengalahkan Adipati Kebo Marcuet, maka dia akan kuangkat
menjadi Adipati Blambangan dan kujadikan sebagai suami,” demikian
maklumat Ratu Ayu Kencana Wungu yang dibacakan di hadapan seluruh rakyat
Majapahit.
Sayembara
itu diikuti oleh puluhan orang, namun semua gagal mengalahkan kesaktian
Adipati Kebo Marcuet. Hingga datanglah seorang pemuda tampan dan gagah
bernama Jaka Umbaran yang berasal dari Pasuruan. Ia adalah cucu Ki Ajah
Pamengger yang merupakan guru sekaligus ayah angkat Adipati Kebo
Marcuet. Rupanya, Jaka Umbaran mengetahui kelemahan Adipati Kebo
Marcuet. Maka, dengan senjata pusakanya gada wesi kuning (gada
yang terbuat dari kuningan), dan dibantu oleh seorang pemanjat kelapa
yang sakti bernama Dayun, Jaka Umbaran berhasil mengalahkan Adipati Kebo
Marcuet.
Ratu
Ayu Kencana Wungu sangat gembira dengan kekalahan Adipati Kebo Marcuet.
Ia pun menobatkan Jaka Umbaran menjadi Adipati Blambangan dengan gelar
Minakjingga. Akan tetapi, Ratu Ayu Kencana Ungu menolak menikah dengan
Jaka Umbaran karena pemuda itu kini tidak lagi tampan. Akibat
pertarungannya dengan Adipati Kebo Marcuet, wajah Jaka Umbaran yang
semula rupawan menjadi rusak, kakinya pincang, dan badannya menjadi
bongkok.
Jaka
Umbaran alias Minakjingga tetap bersikeras menagih janji. Ia datang ke
Majapahit untuk melamar Ratu Ayu Kencana Wungu meskipun pada saat itu ia
telah memiliki dua selir bernama Dewi Wahita dan Dewi Puyengan. Lamaran
Minakjingga bertepuk sebelah tangan karena sang Ratu tetap tidak sudi
menikah dengannya.
Penolakan
itu membuat Minakjingga murka dan memendam dendam kepada Ratu Ayu
Kencana Wungu. Untuk melampiaskan kemarahannya, Minakjingga merebut
beberapa wilayah kekuasaan Majapahit sampai ke Probolinggo. Tidak hanya
itu, Minakjingga pun berniat untuk menyerang Majapahit. Ratu Ayu Kencana
Wungu sangat khawatir ketika mendengar bahwa Minakjingga ingin
menyerang kerajaannya. Maka, ia pun kembali menggelar sayembara.
“Barangsiapa
yang berhasil membinasakan Minakjingga akan kujadikan suamiku!” ucap
Ratu Ayu Kencana Wungu di hadapan seluruh rakyat Majapahit.
Sekali
lagi, puluhan pemuda turut serta dalam sayembara tersebut, namun tidak
ada satu pun yang berhasil mengungguli kesaktian Minakjingga. Hal ini
membuat sang Ratu semakin cemas. Saat kekhawatiran sang Ratu semakin
besar, datanglah seorang pemuda tampan bernama Damarwulan. Ia adalah
putra Patih Udara, patih Majapahit yang sedang pergi bertapa. Saat itu
Damarwulan sedang bekerja sebagai perawat kuda milik Patih Logender,
seorang patih Majapahit yang ditunjuk untuk menggantikan kedudukan ayah
Damarwulan.
Di hadapan sang Ratu, Damarwulan menyampaikan keinginannya mengikuti sayembara untuk mengalahkan Minakjingga.
“Ampun, Gusti Ratu! Jika diperkenankan, izinkanlah hamba mengikuti sayembara,” pinta Damarwulan.
“Tentu saja, Damarwulan. Bawalah kepala Minakjingga ke hadapanku!” titah sang Ratu.
“Baik, Gusti,” kata pemuda itu seraya berpamitan.
Berangkatlah Damarwulan ke Blambangan untuk menantang Minakjingga.
“Hai, Minakjingga! Jika berani, lawanlah aku!” seru Damarwulan setiba di Blambangan.
“Siapa kamu?” tanya Minakjingga, “Berani-beraninya menantang aku.”
“Ketahuilah, hai pemberontak! Aku Damarwulan yang diutus oleh Ratu Ayu Kencana Wungu untuk membinasakanmu,” jawab Damarwulan.
“Ha…
Ha… Ha…!” Minakjingga tertawa terbahak-bahak, “Sia-sia saja kamu ke
sini, Damarwulan. Kamu tidak akan mampu menghadapi kesaktian senjata
pusakaku, gada wesi kuning!”
Pertarungan
sengit antara dua pendekar sakti itu pun terjadi. Keduanya
silih-berganti menyerang. Namun, akhirnya Damarwulan kalah dalam
pertarungan itu hingga pingsan terkena pusaka gada wesi kuning milik Minakjingga. Damarwulan pun dimasukkan ke dalam penjara.
Rupanya,
kedua selir Minakjingga, Dewi Wahita dan Dewi Puyengan, terpikat
melihat ketampanan Damarwulan. Mereka pun secara diam-diam mengobati
luka pemuda itu. Bahkan, mereka juga membuka rahasia kesaktian
Minakjingga.
“Kekuatan Minakjingga terletak pada gada wesi kuning. Dia tidak akan bisa berbuat apa-apa tanpa sejata itu,” kata Dewi Wahita.
“Benar. Jika ingin mengalahkan Minakjingga, Anda harus merampas pusakanya,” tambah Dewi Puyengan.
“Lalu, bagaimana aku bisa merebut senjata pusaka itu?” tanya Damarwulan.
“Kami akan membantumu mendapatkan senjata itu,” janji kedua selir Minakjingga itu.
Pada malam harinya, Dewi Sahita dan Dewi Puyengan mencuri pusaka gada wesi kuning
saat Minakjingga terlelap. Pusaka itu kemudian mereka berikan kepada
Damarwulan. Setelah memiliki senjata itu, Damarwulan pun kembali
menantang Minakjingga untuk bertarung. Alangkah terkejutnya Minakjingga
saat melihat sejata pusakanya ada di tangan Damarwulan.
“Hai, Damarwulan! Bagaimana kamu bisa mendapatkan senjataku?” tanya Minakjingga heran.
Damarwulan tidak menjawab. Ia segera menyerang Minakjingga dengan senjata gada wesi kuning
yang ada di tangannya. Minakjingga pun tidak bisa melakukan perlawanan
sehingga dapat dengan mudah dikalahkan. Akhirnya, Adipati Blambangan itu
tewas oleh senjata pusakanya sendiri. Damarwulan memenggal kepada
Minakjingga untuk dipersembahkan kepada Ratu Ayu Kencana Wungu.
Dalam
perjalanan menuju Majapahit, Damarwulan dihadang oleh Layang Seta dan
Layang Kumitir. Kedua orang yang bersaudara itu adalah putra Patih
Logender. Rupanya, mereka diam-diam mengikuti Damarwulan ke Blambangan.
Saat melihat Damarwulan berhasil mengalahkan Minakjingga, mereka hendak
merebut kepala Minakjingga agar diakui sebagai pemenang sayembara.
“Hai, Damarwulan! Serahkan kepala Minakjingga itu kepada kami!” seru Layang Seta.
Damarwulan
tentu saja menolak permintaan itu. Pertarungan pun tak terelakkan.
Layang Seta dan Layang Kumitir mengeroyok Damarwulan dan berhasil
merebut kepala Minakjingga. Kepala itu kemudian mereka bawa ke
Majapahit. Pada saat mereka hendak mempersembahkan kepala itu kepada
sang Ratu, tiba-tiba Damarwulan datang dan segera menyampaikan
kebenaran.
“Ampun,
Gusti! Hamba telah berhasil menjalankan tugas dengan baik. Namun, di
tengah jalan, tiba-tiba Layang Seta dan Layang Kumitir menghadang hamba
dan merebut kepala itu dari tangan hamba,” lapor Damarwulan.
“Ampun, Gusti! Perkataan Damarwulan itu bohong belaka. Kamilah yang telah memenggal kepala Minakjingga,” sanggah Layang Seta.
Pertengkaran
antara kedua pihak pun semakin memanas. Mereka sama-sama mengaku yang
telah memenggal kepala Minakjingga. Ratu Ayu Kencana Wungu pun menjadi
bingung. Ia tidak dapat menenentukan siapa di antara mereka yang benar.
Maka, sebagai jalan keluarnya, penguasa Majapahit itu meminta kedua
belah pihak untuk bertarung.
“Sudahlah,
kalian tidak usah bertengkar lagi!” ujar Ratu Ayu Kencana, “Sekarang
aku ingin bukti yang jelas. Bertarunglah kalian, siapa yang berhasil
menjadi pemenangnya pastilah ia yang telah membinasakan Minakjingga.”
Akhirnya,
mereka pun bertarung. Kali ini, Damarwulan lebih berhati-hati
menghadapi kedua putra Patih Logender itu. Ia harus membuktikan kepada
sang Ratu bahwa dirinyalah yang benar. Demikian pula Layang Seta dan
Layang Kumitir, mereka tidak ingin kebohongan mereka terbongkar di
hadapan sang Ratu.
Dengan
disaksikan oleh sang Ratu dan seluruh rakyat Majapahit, pertarungan itu
pun berlangsung sangat seru. Kedua belah pihak mengeluarkan seluruh
kekuatan masing-masing demi memenangkan pertandingan. Pertarungan itu
akhirnya dimenangkan oleh Damarwulan. Layang Seta dan Layang Kumitir pun
mengakui kesalahan mereka dan dimasukkan ke penjara, sedangkan
Damarwulan pun berhak menikah dengan Ratu Ayu Kencana Wungu.
* * *
Demikian cerita Damarwulan dan Minakjingga
dari Banyuwangi, Jawa Timur. Kisah ini terus berkembang menjadi cerita
rakyat dengan berbagai versi. Terlepas dari itu, cerita ini juga
dikisahkan dalam bentuk sastra seperti dalam Serat Kanda, Serat Damarwulan, Serat Blambangan,
dan sebagainya. Cerita tentang Damarwulan dan Minakjingga juga menjadi
tema pertunjukan dalam pementasan teater rakyat Jawa Timur. Bahkan,
legenda Damarwulan dan Minakjingga ini telah diangkat dalam film layar
lebar.
Pesan moral yang dapat dipetik dari cerita ini antara lain, pertama,
sikap suka ingkar janji akan menimbulkan dampak yang buruk, seperti
sikap ingkar janji Ratu Ayu Kencana Wungu mengakibatkan pecahnya
peperangan antara Majapahit dan Blambangan. Kedua, sifat jahat,
yakni suka merampas hak orang lain, terlihat pada perilaku Layang Seta
dan Layang Kumitri yang merampas hak Damarwulan sebagai pemenang
sayembara. Akibatnya, kedua orang licik itu pun masuk penjara. (Samsuni/Sas/254/05-11)
0 comments:
Post a Comment