
Diceritakan kembali oleh Samsuni
Gunung
Arjuna terletak di Kabupaten Malang, Jawa Timur, Indonesia. Menurut
legenda yang beredar di kalangan masyarakat setempat, ketinggian gunung
ini dahulu hampir mencapai langit. Namun, karena tersebab oleh sebuah
peristiwa, gunung ini terpotong sehingga ketinggiannya hanya sekitar
3.339 meter di atas permukaan laut. Peristiwa apakah yang menyebabkan
Gunung Arjuna terpotong? Ikuti kisahnya dalam cerita Legenda Gunung Arjuna berikut ini!
* * *
Alkisah, dalam cerita pewayangan masyarakat Jawa, dikenal nama Pandawa, yang secara harfiah berarti “anak Pandu”. Jadi, Pandawa
adalah putra dari Pandu. Sementara itu, Pandu adalah seorang raja yang
bertahta di Kerajaan Hastinapura. Prabu Pandu memiliki lima putra yang
semuanya laki-laki. Mereka adalah Yudistira, Bima, Arjuna, serta si
kembar Nakula dan Sadewa. Mereka semua merupakan saudara seayah karena
lahir dari dua ibu yang berbeda. Yudistira, Bima, dan Arjuna lahir dari
permaisuri pertama Prabu Pandu yang bernama Kunti, sedangkan Nakula dan
Sadewa lahir dari permaisuri kedua yang bernama Madri.
Dari
kelima Pandawa tersebut, Arjuna dikenal memiliki ilmu kesaktian yang
tinggi dibandingkan dengan saudara-saudaranya. Nama Arjuna diambil dari
bahasa Sansekerta yang berarti yang bersinar atau yang bercahaya. Ia
merupakan penjelmaan dari Dewa Indra, sang Dewa Perang. Sebagai titisan
Dewa Indra, Arjuna memiliki ilmu peperangan yang tinggi. Ia sangat mahir
memanah dan sakti mandraguna. Semua kesaktian tersebut merupakan
anugerah dari para Dewa karena ketekunannya bertapa. Namun, karena belum
puas dengan kesaktian yang telah dimilikinya, Arjuna masih sering
melakukan tapa untuk menambah kesaktiannya.
Pada
suatu hari, Arjuna pergi bertapa ke sebuah lereng gunung yang terletak
di sebelah barat Batu, Malang. Suasana di lereng gunung itu sangat cocok
untuk bertapa karena wilayah di sekitarnya merupakan daerah pegunungan
yang berudara sejuk dan jauh dari permukiman penduduk. Itulah sebabnya,
Arjuna memilih tempat itu agar dapat melaksanakan tapa dengan tenang dan
khusyuk.
Setiba
di lereng gunung itu, Arjuna langsung duduk bersila di atas sebuah batu
besar seraya memejamkan mata untuk memusatkan segenap pikirannya.
Sesaat kemudian, ia pun terlarut dalam semadinya. Siang dan malam ia
terus bersemadi dengan penuh khusyuk. Saking khusyuknya, tubuh putra
ketiga Prabu Pandu itu memancarkan sinar yang memiliki kekuatan luar
biasa. Beberapa saat kemudian, puncak gunung itu tiba-tiba terangkat ke
atas. Semakin lama, puncak gunung itu semakin menjulang tinggi hingga
menyentuh langit dan mengguncang Negeri Kahyangan.
Peristiwa
tersebut membuat para Dewa di Kahyangan menjadi khawatir. Jika
guncangan itu terus terjadi, maka Negeri Kahyangan akan hancur. Oleh
karena itu, mereka segera bertindak dengan mengutus Batara Narada ke
bumi untuk mencari tahu penyebab guncangan itu. Setelah terbang
berputar-putar di angkasa, ia pun melihat Arjuna sedang bertapa di
lereng gunung. Ia pun segera menghampiri dan membujuk Arjuna agar
menghentikan tapanya.
“Wahai
Arjuna, bangunlah!” ujar Batara Narada, ”Jika kamu tidak segera
menghentikan tapamu, gunung ini akan semakin tinggi dan para Dewa di
Kahyangan akan celaka.”
Arjuna
mendengar sabda Batara Narada itu, namun karena keangkuhannya ia enggan
menghentikan tapanya. Ia berpikir, jika ia menghentikan tapa itu tentu
para Dewa tidak akan memberinya banyak kesaktian. Sementara itu, Batara
Narada yang gagal membujuk Arjuna segera kembali ke Kahyangan untuk
melapor kepada para Dewa. Mengetahui hal itu, Batara Guru kemudian
memerintahkan tujuh bidadari tercantik di Kahyangan untuk menggonda
pemuda tampan itu agar mengakhiri tapanya.
Sesampai
di bumi, para bidadari segera merayu Arjuna dengan berbagai cara. Ada
yang merayu dengan suara lembut, ada yang menari-nari di depannya, ada
yang tertawa cekikikan, serta ada pula yang mencubit dan menggelitiknya.
Namun, semua usaha tersebut tetap saja sia-sia. Akhirnya, mereka
kembali ke Kahyangan dengan perasaan kecewa.
Batara
Guru yang mengetahui hal itu segera mengutus para dedemit untuk
menakut-nakuti Arjuna. Namun, usaha yang mereka lakukan juga gagal.
Berita tetang kegagalan itu segera mereka laporkan kepada Batara Guru.
“Ampun,
Batara Guru! Kami telah berusaha dengan berbagai cara, namun Arjuna
justru semakin khusyuk dalam tapanya,” lapor salah satu dedemit.
Mendengar
laporan itu, Batara Guru hanya terdiam. Pemimpin para Dewa itu mulai
merasa cemas dan putus asa melihat kelakuan Arjuna. Untungnya ia segera
teringat kepada Dewa Ismaya yang tak lain adalah Batara Semar, pengasuh
Pandawa yang tinggal di Bumi. Ia pun mengutus Batara Narada untuk
menemui Semar di Bumi.
“Wahai, Semar! Aku datang untuk meminta bantuanmu,” kata Batara Narada.
“Apa yang bisa saya bantu, Dewa Narada?” tanya Semar.
Batara
Narada pun menceritakan bahwa para Dewa di Kahyangan sedang dalam
bahaya akibat perbuatan Arjuna. Ia juga menceritakan bahwa sudah
berbagai cara yang telah mereka lakukan untuk menghentikan tapa Arjuna,
namun semuanya sia-sia belaka.
“Kamulah
satu-satunya harapan para Dewa di Kahyangan yang bisa membujuk Arjuna
agar segera mengakhiri tapanya,” ungkap Batara Narada.
“Baiklah, kalau begitu. Saya akan berusaha untuk menyadarkan Arjuna,” kata Semar menyanggupi.
Setelah
Batara Narada kembali ke Kahyangan, Batara Semar meminta bantuan kepada
Batara Togog untuk melaksanakan tugas tersebut. Setibanya di lereng
gunung tersebut, keduanya langsung bersemadi untuk menambah kesaktian
mereka. Setelah itu, mereka mengubah tubuh mereka menjadi besar dan
kemudian berdiri di sisi gunung yang berbeda. Dengan kesektiannya,
mereka memotong gunung itu tepat di tengah-tengahnya dan kemudian
melemparkan bagian atas gunung itu ke arah tenggara. Begitu bagian atas
gunung itu terjatuh ke tanah, terdengarlah suara dentuman yang sangat
keras disertai dengan guncangan yang sangat dahsyat.
“Hai, suara apa itu?” gumam Arjuna yang terbangun dari tapanya.
Baru saja Arjuna selesai berguman, tiba-tiba Batara Semar dan Batara Togo datang menghampirinya.
“Kami telah memotong dan melemparkan puncak gunung ini, Raden,” kata Batara Semar.
“Kenapa, Guru? Gara-gara suara itu aku terbangun dari tapaku. Tentu para Dewa tidak akan menambah kesaktianku,” kata Arjuna.
“Maaf,
Den! Justru tapamu itu telah membuat para Dewa menjadi resah. Lagi
pula, untuk apalagi kamu meminta banyak kesaktian? Bukankah sudah cukup
dengan kesaktian yang telah kamu miliki saat ini?” ujar Batara Semar.
“Benar
kata Batara Semar, Den! Raden adalah seorang kesatria yang seharusnya
memiliki sifat rendah hati. Apakah Raden tidak menyadari jika tapa Raden
ini bisa mencelakakan banyak orang dan para Dewa?” imbuh Batara Togog.
Mendengar
nasehat tersebut, Arjuna menjadi sadar dan mengakui semua kesalahannya.
Ia juga tidak lupa berterima kasih kepada Batara Semar dan Batara Togog
karena telah menyadarkannya. Setelah itu, mereka pun segera
meninggalkan gunung tersebut.
Sejak
itulah, gunung tempat Arjuna bertapa dinamakan Gunung Arjuna. Sementara
itu, potongan gunung yang dilemparkan oleh Batara Semar dan Batara
Togog dinamakan Gunung Wurung. Kata wurung berarti
batal atau gagal. Artinya, tapa Arjuna menjadi batal atau gagal karena
mendengar suara dentuman dari potongan gunung yang terjatuh.
* * *
Demikian cerita Legenda Gunung Arjuna
dari daerah Malang, Jawa Timur. Pesan moral yang dapat dipetik dari
cerita di atas adalah bahwa sifat serakah merupakan sifat yang tidak
terpuji. Sifat ini ditunjukkan oleh sikap dan perilaku Arjuna yang tidak
pernah merasa puas dengan kesaktian yang dimilikinya. Karena
kesekarahannya, Arjuna pun mendapat teguran dari para Dewa.
Pesan
moral lain yang dapat dipetik dari cerita di atas adalah keutamaan
sifat mau mengakui kesalahan sendiri sebagaimana yang ditunjukkan oleh
Arjuna. Dengan segala kerendahan hati, ia tidak malu mengakui
kesalahannya. Bahkan, ia tidak sungkan untuk berterima kasih kepada
Batara Semar dan Batara Togog yang telah menasehatinya. (Samsuni/sas/204/10-10)
0 comments:
Post a Comment