Kabupaten Probolinggo - Jawa Timur - Indonesia
Diceritakan kembali oleh: Samsuni
Jaka Seger dan Rara Anteng adalah sebuah legenda yang beredar di kalangan masyarakat Jawa Timur,
Indonesia. Legenda yang mengisahkan tentang percintaan antara Jaka
Seger dan Rara Anteng ini menerangkan tentang asal-usul Gunung Brahma
(Bromo) dan Gunung Batok, serta asal-usul nama suku Tengger, yaitu
sebuah suku yang tinggal di sekitar Gunung Bromo. Bagi suku Tengger,
Gunung Bromo merupakan gunung yang suci. Itulah sebabnya, setiap setahun
sekali, yaitu setiap bulan Purnama pada bulan ke-10 tahun Saka, mereka
melaksanakan upacara yang dikenal dengan Yadnya Kasada. Konon,
keberadaan upacara tersebut juga diyakini berasal dari cerita Jaka Seger dan Rara Anteng ini. Berikut kisahnya.
* * *
Alkisah,
di sebuah rumah sederhana di lereng Gunung Bromo, seorang laki-laki
setengah baya sedang duduk menunggu istrinya yang akan melahirkan anak
kedua mereka. Laki-laki itu adalah Raja Majapahit yang meninggalkan
negerinya dan membuat sebuah dusun di lereng Gunung Bromo bersama
beberapa orang pengikutnya karena kalah berperang melawan putranya
sendiri. Wajah laki-laki itu tampak begitu pucat dan hatinya diselimuti
perasaan cemas melihat istrinya terus merintih menahan rasa sakit.
Saat
tengah malam, buah hati yang mereka nanti-nantikan pun lahir ke dunia.
Namun anehnya, bayi yang berjenis kelamin perempuan itu tidak menangis
seperti halnya bayi-bayi pada umumnya.
“Dinda! Bayi kita seorang perempuan,” kata mantan Raja Majapahit itu.
“Tapi Kanda, kenapa Dinda tidak mendengar suara tangis putri kita?” tanya permaisurinya yang masih terbaring lemas.
“Jangan
khawatir, Dinda! Putri kita lahir dengan normal dan sehat. Lihatlah,
wajah putri kita tampak bersinar! Dia bagaikan seorang titisan dewa,”
ujar mantan Raja Majapahit itu sambil menimang-nimang bayinya yang
mungil di depan istrinya.
Pasangan
suami-istri itu tampak begitu bahagia mendapat anak. Mereka pun memberi
nama bayi itu Rara Anteng, yang berarti seorang perempuan yang diam
atau tenang.
Pada
saat yang hampir bersamaan, di tempat lain yang tidak jauh dari rumah
Anteng dilahirkan, juga lahir seorang bayi laki-laki dari pasangan
suami-istri pendeta. Suara tangis bayi yang baru lahir itu sangat keras
sehingga memecah kesunyian malam di lereng Gunung Bromo itu. Bayi itu
tampak sehat dan montok. Oleh kedua orang tuanya, bayi itu diberi nama
Jaka Seger, yang berarti seorang laki-laki yang berbadan segar.
Waktu
terus berlalu. Kedua bayi itu pun tumbuh menjadi dewasa. Jaka Seger
tumbuh menjadi pemuda yang gagah dan tampan, sedangkan Rara Anteng
tumbuh menjadi gadis yang cantik nan rupawan. Berita tentang kecantikan
Rara Anteng pun tersebar hingga ke mana-mana dan menjadi pujaan setiap
pemuda. Sudah banyak pemuda yang datang meminangnya, namun tak satu pun
yang diterimanya. Rupanya, putri mantan Raja Majapahit itu telah
menjalin hubungan kasih dengan Jaka Seger dan cintanya tidak akan
berpaling kepada orang lain.
Pada
suatu hari, kabar tentang kencantikan Rara Anteng juga sampai ke
telinga sesosok raksasa yang tinggal di hutan di sekitar lereng Gunung
Bromo. Raksasa yang menyerupai badak itu bernama Kyai Bima. Ia sangat
sakti dan kejam. Begitu mendengar kabar tersebut, Kyai Bima pun segera
datang meminang Rara Anteng. Jika keinginannya tidak dituruti, maka ia
akan membinasakan dusun itu dan seluruh isinya. Hal itulah yang membuat
Rara Anteng dan keluarganya kebingungan untuk menolak pinangannya.
Sementara Jaka Seger pun tidak dapat berbuat apa-apa karena tidak mampu
menandingi kesaktian raksasa itu.
Setelah
sejenak berpikir keras, akhirnya Rara Anteng menemukan sebuah cara
untuk menolak pinangan Kyai Bima secara halus. Dia akan mengajukan satu
persyaratan yang kira-kira tidak sanggup dipenuhi oleh raksasa itu.
“Baiklah, Kyai Bima! Aku akan menerima pinanganmu, tapi kamu harus memenuhi satu syarat,” ujar Rara Anteng.
“Apakah syarat itu! Cepat katakan!” seru Kyai Bima dengan nada membentak.
Mendengar seruan itu, Rara Anteng menjadi gugup. Namun, ia berusaha tetap bersikap tenang untuk menghilangkan rasa gugupnya.
“Buatkan
aku danau di atas Gunung Bromo itu! Jika kamu sanggup menyelesaikannya
dalam waktu semalam, aku akan menerima pinanganmu,” ujar Rara Anteng.
Dengan
penuh percaya diri dan kesaktian yang dimilikinya, Kyai Bima
menyanggupi persyaratan itu dan menganggap bahwa persyaratan itu
sangatlah mudah baginya.
“Hanya itukah permintaanmu, wahai Rara Anteng?” tanya raksasa itu dengan nada angkuh.
“Iya, hanya itu. Tapi ingat, danau itu harus selesai sebelum ayam berkokok!” seru Rara Anteng mengingatkan raksasa itu.
Mendengar
jawaban Rara Anteng, raksasa itu tertawa terbahak-bahak, lalu bergegas
pergi ke puncak Gunung Bromo. Setibanya di sana, ia pun mulai mengeruk
tanah dengan menggunakan batok (tempurung) kelapa yang sangat
besar. Hanya beberapa kali kerukan, ia telah berhasil membuat lubang
besar. Ia terus mengeruk tanah di atas gunung itu tanpa mengenal lelah.
Rara
Anteng pun mulai cemas. Ketika hari menjelang pagi, pembuatan danau itu
hampir selesai, tinggal beberapa kali kerukan lagi.
“Aduh,
mampuslah aku!” ucap Rara Anteng cemas, “raksasa itu benar-benar sakti.
Apa yang harus kulakukan untuk menghentikan pekerjaannya?”
Rara
Anteng kembali berpikir keras. Akhirnya ia memutuskan untuk
membangunkan seluruh keluarga dan tetangganya. Kaum laki-laki
diperintahkan untuk membakar jerami, sedangkan kaum perempuan
diperintahkan untuk menumbuk padi. Tak berapa lama kemudian, cahaya
kemerah-merahan pun mulai tampak dari arah timur. Suara lesung terdengar
bertalu-talu, dan kemudian disusul suara ayam jantan berkokok
bersahut-sahutan.
Mengetahui
tanda-tanda datangnya waktu pagi tersebut, Kyai Bima tersentak kaget
dan segera menghentikan pekerjaannya membuat danau yang sudah hampir
selesai itu.
“Sial!” seru raksasa itu dengan kesal, “rupanya sudah pagi. Aku gagal mempersunting Rara Anteng.”
Sebelum
Kyai Bima meninggalkan puncak Gunung Bromo, tempurung kelapa yang masih
dipegangnya segera dilemparkan. Konon, tempurung kelapa itu jatuh
tertelungkup dan kemudian menjelma menjadi sebuah gunung yang dinamakan
Gunung Batok. Jalan yang dilalui raksasa itu menjadi sebuah sungai dan
hingga kini masih terlihat di hutan pasir Gunung Batok. Sementara danau
yang belum selesai dibuatnya itu menjelma menjadi sebuah kawah yang juga
masih dapat disaksikan di kawasan Gunung Bromo.
Betapa
senangnya hati Rara Anteng dan keluarganya melihat raksasa itu pergi.
Tak berapa lama kemudian, Rara Anteng pun menikah dengan Jaka Seger.
Setelah itu, Jaka Seger dan Rara Anteng membuka desa baru yang diberi
nama Tengger. Nama desa itu diambil dari gabungan akhiran nama Anteng
(Teng) dan Seger (Ger). Mereka pun hidup berbahagia.
Setelah
bertahun-tahun mereka hidup menikmati manisnya perkawinan dan kehidupan
berumah tangga, tiba-tiba muncul keresahan di hati mereka.
“Dinda,
sudah bertahun-tahun kita menikah, namun belum juga dikaruniai anak.
Padahal kita sudah mencoba berbagai jenis obat,” keluh Jaka Seger kepada
istrinya.
“Sabarlah,
Kanda! Sebaiknya jangan terlalu cepat berputus asa. Kita serahkan saja
semua kepada Tuhan Yang Mahakuasa,” bujuk Rara Anteng.
Baru
saja istrinya selesai berucap, tiba-tiba Jaka Seger mengucapkan ikrar,
“Jika Tuhan mengaruniai kita 25 anak, aku berjanji akan mempersembahkan
seorang di antara mereka untuk sesajen di kawah Gunung Bromo.”
Begitu
Jaka Seger selesai mengucapkan ikrar itu, tiba-tiba api muncul dari
dalam tanah di kawah Gunung Bromo. Hal itu sebagai pertanda bahwa doa
Jaka Seger didengar oleh Tuhan Yang Mahakuasa. Tak berapa lama kemudian,
Rara Anteng pun diketahui sedang mengandung. Alangkah bahagianya hati
Jaka Seger mendengar kabar baik itu. Sembilan bulan kemudian, buah hati
yang telah lama mereka nanti-nantikan pun lahir ke dunia. Kebahagiannya
pun semakin sempurna ketika mengetahui bahwa istrinya melahirkan anak
kembar. Setahun kemudian, Rara Anteng melahirkan lagi anak kembar.
Begitulah seterusnya, setiap tahun Rara Anteng melahirkan anak kembar,
ada kembar dua dan ada pula kembar tiga, hingga akhirnya anak mereka
berjumlah dua puluh lima orang.
“Terima kasih, Tuhan! Engkau telah mengabulkan doa hamba!” ucap Jaka Seger.
Jaka
Seger bersama istrinya merawat dan membesarkan kedua puluh lima anak
tersebut hingga tumbuh menjadi dewasa. Jaka Seger sangat menyayangi
semua anaknya, terutama putra bungsunya yang bernama Dewa Kusuma. Karena
terlena dalam kebahagiaan, ia lupa janjinya kepada Tuhan. Suatu malam,
Tuhan pun menegurnya melalui mimpi.
“Mana
janjimu, wahai Jaka Seger! Serahkanlah salah seorang putramu ke kawah
Gunung Bromo!” seru suara itu dalam mimpi Jaka Seger.
Jaka Seger langsung tersentak kaget saat tersadar dari mimpinya.
“Ya,
Tuhan! Aku telah lupa pada janjiku,” ucap Jaka Seger, “Aduh, bagaimana
ini? Siapa di antara putra-putriku yang harus kupersembahkan, padahal
aku sangat menyayangi mereka semua?”
Akhirnya,
Jaka Seger bersama istrinya mengumpulkan seluruh putra-putrinya dalam
sebuah pertemuan keluarga. Jaka Seger kemudian menceritakan perihal
nazarnya itu kepada mereka. Wajah mereka pun serempak berubah menjadi
pucat pasi. Apalagi ketika dimintai kesediaan salah seorang dari mereka
untuk dijadikan persembahan.
“Ampun, Ayah! Ananda tidak mau menjadi persembahan di kawah itu. Ananda tidak mau mati muda,” sahut anak sulungnya keberatan.
“Dengarlah,
wahai putra-putriku! Jika Ayahanda tidak menunaikan nazar ini, maka
desa ini dan seluruh isinya akan binasa,” jelas Jaka Seger.
Dengan sigap, Dewa Kusuma langsung menanggapi penjelasan ayahandanya.
“Ampun,
Ayah! Jika itu memang sudah menjadi nazar Ayah, Ananda bersedia untuk
dijadikan persembahan di kawah Gunung Bromo,” kata Dewa Kusuma.
Jaka
Seger tersentak kaget. Ia tidak pernah mengira sebelumnya jika putra
bungsunyalah yang mempunyai keberanian dan kerelaan untuk dijadikan
persembahan.
“Apakah kamu yakin dengan ucapanmu itu, hai Dewa Kusuma?” tanya ayahnya.
“Iya,
Ayah! Ananda rela berkorban demi menyelamatkan dusun ini dan seluruh
isinya,” jawab Dewa Kusuma, “tapi, Ananda mempunyai satu permintaan.”
“Apakah permintaanmu, Putraku?” tanya ayahnya.
Dewa
Kusuma pun menyampaikan permintaannya kepada Ayah, Ibu, dan
saudara-saudaranya agar dirinya diceburkan ke dalam kawah itu pada
tanggal 14 bulan Kasada (penanggalan Jawa). Ia juga meminta agar setiap
tahun pada bulan dan tanggal tersebut diberi sesajen berupa hasil bumi
dan ternak yang dihasilkan oleh ke-24 saudaranya. Permintaan Dewa Kusuma
pun diterima oleh seluruh anggota keluarganya.
Pada
tanggal 14 bulan Kasada, Dewa Kusuma pun diceburkan ke kawah Gunung
Bromo dengan diiringi isak tangis oleh seluruh keluarganya. Nazar Jaka
Seger pun terlaksana sehingga dusun itu atau kini dikenal Desa Tengger
terhindar dari bencana.
* * *
Demikian cerita Jaka Seger dan Rara Anteng
dari daerah Jawa Timur. Hingga kini, kawah yang memiliki garis tengah
lebih kurang 800 meter (utara-selatan) dan 600 meter (timur-barat) ini
telah menjadi obyek wisata menarik di kawasan Gunung Bromo.
Untuk mengenang dan menghormati pesan Dewa Kusuma, masyarakat suku
Tengger melaksanakan upacara persembahan sesaji ke kawah Gunung Bromo
yang dikenal dengan istilah upacara Yadnya Kasada. Upacara yang juga
merupakan daya tarik wisata ini dilaksanakan pada tengah malam hingga
dini hari setiap bulan purnama, yaitu sekitar tanggal 14 – 15 di bulan
Kasada (kepuluh) menurut penanggalan Jawa.
Pesen
moral yang terkandung dalam cerita di atas adalah sifat rela berkorban
demi kebahagiaan kedua orang tua dan demi keselamatan masyarakat umum.
Sifat ini tergambar pada sifat dan perilaku Dewa Kusuma yang rela
mengorbankan nyawanya demi menyelamatkan keluarga dan seluruh penduduk
Desa Tengger dari kebinasaan.
0 comments:
Post a Comment